Sabtu, 05 Mei 2018

GEREJA PORTUGIS

Pembangunan phisik Gereja Portugis dimulai dengan peletakan batu pertama oleh Pieter Van Hoorn pada tanggal 19 Oktober 1693. Pembangunan yang memakan waktu sekitar dua tahun itu kemudian selesai pada tahun 1695, dan diresmikan penggunaannya oleh Pendeta Theodorus Zas pada hari Minggu tanggal 23 Oktober 1695. Cerita lengkap terkait pemberkatan gereja ini tertulis dalam bahasa Belanda pada sebuah papan peringatan, yang sampai saat ini masih bisa dilihat di dinding gereja. Gereja ini merupakan gedung tertua di Jakarta yang masih dipakai sesuai dengan peruntukannya, sebagaimana tujuan semula, yaitu untuk tempat beribadat.

Gereja Sion disebut juga Portugeesche Buitenkerk yang artinya Gereja Portugis di luar tembok kota, dan semasa Hindia Belanda menguasai Batavia, Gereja ini disebut dengan Belkita. Setelah mengambil alih pendudukan dari Portugis, Belanda membangun tembok sebagai batas pertahanan kota, dimana Gereja Sion sendiri berada di luar tembok itu sementara gereja Portugis lainnya berada di bagian dalam tembok. Itulah sebabnya nama Gereja Sion disebut Portugeesche Buitenkerk, yang artinya Gereja Portugis di luar tembok kota.

Disisi lain, gereja yang kini bernama Gereja Sion dibangun sebagai pengganti sebuah gereja yang tadinya berbentuk pondok terbuka yang sangat sederhana. Pondok itu sudah tak memadai lagi untuk digunakan sebagai tempat untuk beribadah bagi warga Portugis Madijkers, warga berstatus tawanan yang dibawa dari Malaya dan India. Warga Portugis itu dibawa ke Batavia oleh VOC seiring dengan jatuhnya kekuasaan Portugis di India, Malaya, Sri Lanka dan Maluku.

Pada masa pendudukan Jepang (Dai Nippon), bala tentaranya ingin menjadikan gereja ini tempat penyimpanan abu tentara yang gugur, namun hal itu tidak sempat terlaksana sebab Indonesia segera merdeka. Setelah bertekuk lutut kepada sekutu pada perang dunia kedua, Jepang kemudian meninggalkan Indonesia dan seiring dengan itu, Portugeesche Buitenkerk kemudian berganti nama menjadi Gereja Portugis.

Peralihan kekuasaan yang terjadi setelah Indonesia merdeka, dari penjajah kepada pemerintah Indonesia, juga terjadi pada Gereja Portugis. Pemerintah Belanda kemudian mempercayakan pengelolaan gereja kepada Gereja-gereja Protestan di Indonesia atau GPI sebagai lembaga yang melayani di Wilayah Indonesia Bagian Barat dan pengelolaannya diemban Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB). 

Itulah sebabnya pada persidangan Sinode GPIB tahun 1957 Gereja Portugis, diputuskan untuk diberi nama GPIB Jemaat Sion. Dan sejak saat itu, masyarakat mengenal bangunan itu dengan Gereja Sion. Sion sendiri berasal dari nama sebuah bukit di daerah Palestina berbahasa Ibrani dan merupakan lambang keselamtan pada Bangsa Israel kuno. Pada 1984, halaman gereja menyembpit karena harus mengalah pada kepentingan pelebaran jalan.

Gereja Portugis atau Gereja Sion, dibangun diatas 10.000 (sepuluh ribu) batang kayu dolken atau kayu balok bundar sebagai pondasi. Konstruksi itu, dirancang oleh Ewout Verhagen seorang Belanda yang berasal dari kota Rotterdam, yang mendirikan bangunan gereja dari batu-bata yang direkatkan dengan campuran pasir dan gula tahan panas. Bangunan gereja yang berbentuk persegi empat itu, berukuran dengan luas total  24 X 32 meter, berdiri di atas sebidang tanah seluas 6.275 (enam ribu dua ratus tujuh puluh lima) meter persegi.

Demikian sekilas informasi terkait dengan Gereja Portugis, yang telah ditetapkan menjadi bangunan gereja yang dilindungi pemerintah, berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta CB/11/1/12/1972 ... !

Terimakasih ... SALAM GEMILANG.















>>>